Palembang, Cahayapenanews.com-Firma Hukum Elang Hitam Law Firm, Rohadi S.Sy menilai, kemarahan Presiden Joko Widodo kepada para menterinya beberapa waktu lalu di Bali sebagai simbol politik cuci tangan.
Lewat kemarahannya, Jokowi hendak menunjukkan bahwa kinerja buruk di sektor pangan dan realisasi belanja barang serta jasa beberapa waktu terakhir adalah kesalahan para pembantunya. Lewat cara itu, lanjut dia, Jokowi berhasil menjaga tren kepuasan publik terhadap dirinya padahal justeru sebaliknya publik malah menilai bahwa jokowi tengah menepuk air didulang, terang Rohadi saat dibincangi media ini melalui sambungan telpon selulernya Selasa kemarin, (29/3/2022) pukul 20.41 WIB.
Rohadi. menambahkan, sebagaimana diketahui, momen di Bali Jumat 25 Maret 2022 lalu itu bukan kali pertama Jokowi terlihat marah di depan publik. Sebelumnya, mantan Gubernur DKI Jakarta itu juga pernah melakukan hal serupa di dalam agenda Sidang Kabinet Paripurna pada Juni lalu dan masih banyak lagi yang lainya, ungkap nya menambahkan.
Bahkan menurut Rohadi, Ekspresi kekesalan Jokowi itu diunggah di kanal Youtube Sekretariat Presiden, 18 Juni 2021. Jokowi, dalam sambutannya, menyampaikan kekesalannya terkait situasi terakhir, terutama penanganan pandemi Covid-19, imbuhnya.
Dia menilai apa yang dilakukan Jokowi sebagai suatu hal yang wajar. Menurutnya, ekspresi kemarahan yang ditunjukkan seorang pemimpin merupakan simbol politik, Cara itu digunakan untuk menunjukkan sense of crisis, agar mudah dipahami publik. Upaya itu lebih mudah menarik simpati, ketimbang seorang pemimpin, misalnya, menunjukkan citranya lewat menyusun kebijakan publik.
“Politik kita memang menyediakan banyak panggung untuk bisa diakses secara mudah oleh publik sebagai bahasa yang lebih mudah dimengerti. Jadi, kalau Presiden marah, itu, kan, ekspresinya terlihat,” jadi masyarakat meski cerdas dalam menilai gaya politik seperti ini. Ujar nya.
Selain itu, menurut Rohadi, ekspresi kemarahan Jokowi juga bisa dibaca sebagai tekanan kepada mitra koalisi. Hal itu juga pernah dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Mantan Ketua Umum Partai Demokrat itu pernah mengingatkan para menterinya agar fokus bekerja untuk pemerintahan, bukan partai politik, apalagi kita sama-sama tau kalau pemilu tinggal beberapa tahun lagi para menteri kabinet kerja jokowi ada yang menjadi ketua umum partai dan bahkan sibuk untuk mensosialisasikan diri sebagai calon presiden begitu juga dengan partai koalisi yang ada, papar nya.
Menurut dia, serupa dengan SBY, Jokowi juga pernah melakukan hal serupa. Padahal, ekspresi kemarahan itu, tak sejurus dengan perbaikan kinerja. Sebab pada prinsipnya, perbaikan atau evaluasi kinerja pemerintahan bisa dilakukan dengan kinerja optimal dan itu langsung dari presiden sebagai penggerak roda pemerintahan, bukan seperti yang terjadi saat ini dimana perbaikan ekonomi dan penekanan harga-harga pokok yang melambung tinggi malah dikesampingkan, justeru sibuk dengan proyek IKN Mandalika serta teror vaksin bagi masyarakat sebagai prasyarat yang meski dipenuhi oleh masyarakat untuk kaitan aktivitas semua lini, tegasnya.
“Jadi kemarahan Presiden pada menterinya di hadapan publik, itu sebenarnya memberi kita jebakan politik simbolisme. Seolah-olah marah itu berarti bekerja, dan ini satu pretensi buruk dalam politik nasional. Banyak pemimpin di tingkat daerah melakukan hal serupa. Selain Ahok dan Risma yang telah melakukannya lebih dulu, ada pula Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, yang sempat marah di tengah jalan yang digenangi air saat hujan beberapa waktu lalu,” tutup Rohadi.(red)